Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026 berada di kisaran 4,9%–5,3% secara tahunan (year on year/yoy). Proyeksi ini sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi 2025 yang berada di sekitar 5%.
“Saya melihat prospek pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2026 masih akan menunjukkan kinerja yang positif dan solid. Kami memandang pertumbuhan ekonomi dapat berada pada rentang 4,9%–5,3% dengan titik tengah di sekitar 5,1%,” ujar Suhindarto kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).
Menurut Suhindarto, relatif lebih tingginya proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan terutama ditopang oleh kebijakan fiskal dan moneter yang masih bersifat ekspansif. Dari sisi konsumsi, perbaikan sentimen masyarakat yang mulai terlihat pada Kuartal IV-2025 diperkirakan akan berlanjut hingga awal 2026.
Setelah sempat tertekan, daya beli masyarakat menunjukkan tanda-tanda pemulihan. “Kepercayaan konsumen yang membaik, penjualan ritel yang meningkat, serta penjualan kendaraan bermotor yang mulai rebound menjadi sinyal positif bagi perbaikan konsumsi ke depan. Inflasi juga diyakini tetap terjaga dalam rentang target bank sentral,” jelas Suhindarto.
Dari sisi dunia usaha, optimisme terhadap pertumbuhan dan ekspansi pada 2026 mulai terlihat. Meningkatnya belanja modal perusahaan serta penggalangan dana melalui pasar surat utang korporasi, seiring pelonggaran kebijakan moneter sepanjang 2025, menunjukkan kesiapan korporasi untuk berekspansi.
Baca Juga: Efek Nataru Menggila, Uang Beredar M1 Diprediksi Tembus Rp 5.800 Triliun
“PMI manufaktur Indonesia juga telah berada di zona ekspansi selama empat bulan terakhir,” tambahnya.
Dukungan kebijakan dinilai akan tetap berlanjut. Dari sisi fiskal, program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan bantuan sosial diharapkan mampu menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat dengan mengurangi beban pengeluaran. Sementara dari sisi moneter, Bank Indonesia dinilai masih memiliki ruang untuk pelonggaran lebih lanjut, meskipun tetap bergantung pada dinamika global dan stabilitas makroekonomi.
Meski prospek 2026 relatif positif, Suhindarto mengingatkan adanya risiko eksternal yang perlu diwaspadai. Ketidakpastian global akibat konflik geopolitik dan perang dagang diperkirakan masih membayangi perekonomian dunia dan berpotensi memengaruhi neraca perdagangan, kinerja ekspor, stabilitas nilai tukar, serta prospek pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, menjaga momentum pemulihan yang sudah terjadi menjadi pekerjaan rumah penting bagi pemerintah, termasuk memastikan transmisi kebijakan moneter berjalan efektif hingga ke sektor riil.
Baca Juga: Bukan 31 Desember! DJP Tegaskan Aktivasi Coretax Bisa Kapan Saja
Suhindarto menilai bantuan sosial masih dibutuhkan sebagai jaring pengaman (safety net), khususnya untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, ketergantungan terhadap bansos perlu dikurangi secara bertahap seiring konsumsi yang semakin solid dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
“Menyediakan level playing field yang kondusif bagi dunia usaha akan menciptakan efek pengganda yang signifikan dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat,” pungkas Suhindarto.
Dengan dukungan kebijakan yang pro-pertumbuhan dan pro-penciptaan lapangan kerja, serta tetap menjaga stabilitas, momentum pemulihan diharapkan dapat berkembang menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada 2026.
Tonton: Tren Belanja Online Mulai Bergeser ke Model Interaktif dan Emosional
Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diproyeksikan berada di kisaran 4,9%–5,3%, didukung kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang masih ekspansif serta mulai pulihnya daya beli masyarakat. Perbaikan konsumsi tercermin dari meningkatnya kepercayaan konsumen, penjualan ritel, serta rebound penjualan kendaraan bermotor. Dari sisi dunia usaha, sinyal ekspansi terlihat melalui PMI manufaktur yang konsisten berada di zona ekspansi, meningkatnya belanja modal, serta derasnya penerbitan surat utang korporasi untuk modal kerja. Meski prospek dinilai solid, risiko eksternal seperti ketidakpastian global, konflik geopolitik, dan perang dagang tetap perlu diwaspadai. Pemerintah dan otoritas diharapkan mampu menjaga momentum pemulihan, memastikan transmisi kebijakan ke sektor riil, serta mengelola bantuan sosial sebagai penyangga sementara hingga konsumsi tumbuh lebih kuat dan merata.
Selanjutnya: Efek Nataru Menggila, Uang Beredar M1 Diprediksi Tembus Rp 5.800 Triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













