kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.396.000   29.000   1,23%
  • USD/IDR 16.745   14,00   0,08%
  • IDX 8.372   -16,57   -0,20%
  • KOMPAS100 1.158   -4,75   -0,41%
  • LQ45 841   -5,56   -0,66%
  • ISSI 292   0,59   0,20%
  • IDX30 441   -4,86   -1,09%
  • IDXHIDIV20 507   -6,07   -1,18%
  • IDX80 130   -0,51   -0,39%
  • IDXV30 137   -1,14   -0,82%
  • IDXQ30 140   -1,36   -0,96%
AKTUAL /

Defisit APBN Tembus 2,68% PDB: Ekonom Ungkap Risiko yang Harus Diwaspadai 2026


Jumat, 14 November 2025 / 03:45 WIB
Defisit APBN Tembus 2,68% PDB: Ekonom Ungkap Risiko yang Harus Diwaspadai 2026
ILUSTRASI. Defisit APBN 2026 ditetapkan 2,68% dari PDB, melampaui batas aman versi Kemenkeu. Ekonom CORE memaparkan risikonya. KONTAN/Cheppy A. Muchlis

Reporter: Siti Masitoh | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Defisit APBN 2026 ditetapkan 2,68% dari PDB, melampaui batas aman versi Kemenkeu. Ekonom CORE memaparkan risiko pelebaran defisit, penyebab fiskal menantang, dan dampaknya pada ruang belanja produktif.

Pemerintah menetapkan target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 sebesar 2,68% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi dibanding batas aman yang dirumuskan Kementerian Keuangan dalam target kinerja 2025–2029, yakni pada kisaran 2,45% hingga 2,53% dari PDB.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pelebaran defisit membawa konsekuensi terhadap keberlanjutan fiskal. Menurutnya, semakin lebar defisit, semakin besar pula kebutuhan pembiayaan utang, baik dari sisi pokok maupun beban bunga.

Dalam jangka menengah hingga panjang, situasi ini berpotensi mempersempit ruang fiskal pemerintah. Anggaran pembayaran bunga utang cenderung meningkat, sementara alokasi untuk belanja produktif—seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan—menjadi relatif terbatas.

“Padahal belanja-belanja produktif inilah yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) besar terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujar Yusuf kepada Kontan, Kamis (13/11/2025).

Baca Juga: Dampak Formula Baru Kuota Haji 2026: Ribuan Jemaah Terancam Tak Berangkat

Meski defisit 2026 berada di atas batas aman, Yusuf menilai pemerintah tidak sedang memaksakan kondisi tersebut. Menurutnya, kebijakan ini lebih merupakan respons terhadap dinamika fiskal yang menantang. Pada sisi penerimaan, terdapat potensi shortfall pajak akibat perlambatan ekonomi global dan tekanan pada sektor-sektor utama sumber pendapatan negara.

Sementara di sisi belanja, pemerintah menghadapi kebutuhan tambahan untuk mendukung program prioritas pemerintahan baru yang bersifat struktural serta berdampak jangka panjang.

“Jadi, keputusan menempatkan defisit di 2,68% lebih merupakan upaya menjaga keseimbangan antara keberlanjutan fiskal dan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi,” jelas Yusuf.

Sebagai pembanding, pemerintah juga menetapkan outlook defisit 2025 sebesar 2,78% dari PDB, sedikit lebih tinggi dari pagu awal yang berada di sekitar 2,4%.

Baca Juga: Kebijakan E10: Antara Peluang Ekonomi Rakyat dan Ancaman Dominasi Korporasi

Yusuf menambahkan, realisasi penerimaan negara hingga September 2025 menunjukkan adanya potensi pelebaran defisit di akhir tahun. Namun ia memperkirakan pelebarannya tidak terlalu signifikan, kemungkinan tetap terkendali di bawah 2,8%, dengan asumsi belanja pemerintah terealisasi penuh.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja negara mencapai Rp 2.234,8 triliun atau 63,4% dari outlook (Lapsem) APBN 2025 sebesar Rp 3.527,5 triliun.

Secara keseluruhan, Yusuf menegaskan bahwa risiko terpenting dari pelebaran defisit terletak pada meningkatnya kebutuhan pembiayaan dan potensi crowding out terhadap sektor swasta jika pemerintah mengandalkan strategi pembiayaan yang agresif.

Tonton: Kementerian Haji Umumkan Daftar Penyakit yang Tak Lolos Syarat Kesehatan Haji 2026, Apa Saja?

Kesimpulan:

Pelebaran defisit APBN 2026 ke level 2,68% PDB menunjukkan tekanan fiskal yang makin nyata, baik dari sisi penerimaan yang melambat maupun belanja prioritas yang meningkat. Kondisi ini berpotensi mempersempit ruang fiskal untuk belanja produktif dan menaikkan kebutuhan pembiayaan utang, sehingga pemerintah perlu menjaga strategi pembiayaan tetap hati-hati agar risiko jangka panjang seperti kenaikan beban bunga dan crowding out terhadap sektor swasta dapat dihindari.

Sumber Data 

  • Kementerian Keuangan – Outlook dan dokumen APBN 2025–2026
  • Pernyataan dan analisis CORE Indonesia
  • Data realisasi APBN (Lapsem) – Kemenkeu

Selanjutnya: Dampak Formula Baru Kuota Haji 2026: Ribuan Jemaah Terancam Tak Berangkat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

×