Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - Pemerintah terus mematangkan penyusunan aturan baru terkait pengawasan kepatuhan wajib pajak.
Adapun saat ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) tengah melakukan proses harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.
Ringkasan
- Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak untuk menyeragamkan tata kerja Account Representative (AR) DJP dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
- Konsultan Pajak Raden Agus Suparman mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan pengawasan kepatuhan karena ketiadaan PMK telah menyebabkan ketidakseragaman interpretasi SP2DK dan praktik AR yang tidak standar, seringkali merugikan wajib pajak.
- Pengamat pajak Fajry Akbar menyoroti pentingnya aturan main yang jelas dalam pengawasan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menghindari wajib pajak merasa diperiksa terus-menerus meskipun sudah patuh, serta menghentikan praktik 'berburu di kebun binatang'.
Baca Juga: Desember Dilarang Cuti: DJP Wajibkan Pegawai Kejar Target Pajak hingga Tutup Tahun
Menanggapi hal tersebut, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan tersebut.
Menurut Raden, ketiadaan aturan yang mengikat telah membuat tata kerja Account Representative (AR) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berjalan tidak seragam dan menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak.
Raden, yang pernah delapan tahun menjabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di DJP, menyatakan bahwa hingga kini belum pernah ada PMK khusus yang mengatur pengawasan kepatuhan.
Kondisi ini kontras dengan pemeriksaan pajak, yang aturan formalnya sudah lama eksis, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK Pemeriksaan Pajak yang terbit sejak 2007.
Baca Juga: Pertumbuhan RI 5% Saja? Ini Biang Kerok Lesunya Ekonomi 2026
Ketiadaan peraturan tentang pengawasan kepatuhan yang mengikat wajib pajak dan petugas pajak, menurut Raden, menjadi alasan mengapa cara kerja AR seringkali berbeda-beda.
"Tidak ada standar profesional pengawasan yang dilakukan oleh AR. Ada AR yang suka meminjam dokumen kepada Wajib Pajak, tetapi banyak AR yang tidak pernah meminjam dokumen kepada Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur tata cara AR bekerja dengan Wajib Pajak," papar Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (5/12).
Ketidakseragaman itu, kata Raden, diperparah dengan praktik interpretasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang kian bergeser dari fungsi utamanya.
Tahun ini, setiap SP2DK bahkan diberi target rupiah. Padahal, secara konsep, SP2DK bukan merupakan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum. Oleh karena itu, SP2DK sudah dimaknai seolah surat tagihan pajak.
"Kebiasaan seperti itu seharusnya dihentikan. Lebih baik, jika memang DJP melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak," saran Raden.
Baca Juga: Subsidi Energi Direvisi Total! Negara Hanya Biayai Desil 1–4
Menurutnya, langkah itu jauh lebih memberikan kepastian hukum. Dengan adanya surat ketetapan pajak, wajib pajak bisa menggunakan hak formalnya untuk mengajukan keberatan maupun banding, sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Raden menilai, ketidakpastian paling banyak dirasakan wajib pajak ketika bersengketa dengan AR. Banyak kasus ditutup tanpa ada kejelasan, atau wajib pajak diminta membetulkan SPT tanpa dasar hukum yang kuat.
Namun, di kemudian hari, setelah pergantian AR, persoalan yang sama dapat muncul kembali.
"Banyak kasus, AR sudah menutup permasalahan SP2DK, tapi tiba-tiba terbit instruksi pemeriksaan. Secara ketentuan sampai dengan sekarang, hal seperti ini diperbolehkan," terangnya.
Baca Juga: Pemerintah Stop Truk Berat Saat Nataru 2025! Ini Jadwal Lengkapnya
Akibatnya, wajib pajak merasa sudah menyelesaikan masalah, tetapi tetap menerima SP2 dan berakhir pada tambahan pajak kurang bayar dari tim pemeriksa.
Raden berharap PMK Pengawasan Kepatuhan nantinya menegaskan batasan antara pengawasan formalitas dan pemeriksaan material.
Pengawasan formal oleh AR, menurutnya, cukup mencakup kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25, pelaporan SPT Masa dan Tahunan, serta penerbitan STP terkait faktur pajak, bukti potong, hingga keterlambatan pembayaran.
Sebaliknya, AR tidak boleh meminjam dokumen wajib pajak untuk menghitung pajak terutang. Bila memang perlu pendalaman data, proses tersebut harus dilakukan melalui mekanisme pemeriksaan yang memiliki standar profesional yang jelas dan dilindungi peraturan perundang-undangan.
Baca Juga: Amnesty: Banjir Sumatra Harus Ditangani sebagai Bencana Nasional
Ia menambahkan, AR boleh saja ditugaskan sebagai pemeriksa, namun harus ada Surat Perintah Pemeriksaan yang menjadi dasar pemanggilan dan pengujian. "Sehingga bagi wajib pajak terdapat kepastian hukum setelah selesai pemeriksaan pajak," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan bahwa dengan terbatasnya opsi kebijakan, optimalisasi penerimaan dari pengawasan kepatuhan menjadi kunci untuk mencapai target penerimaan tahun depan.
Terlebih lagi, kata Fajry, beberapa lembaga seperti Bank Dunia melihat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Dari rendahnya ketidakpatuhan tersebut membuat Indonesia banyak kehilangan penerimaan.
"Di luar isi RPMK tersebut, menurut saya memang diperlukan sebuah aturan main terkait pengawasan karena banyak wajib pajak merasa diperiksa terus, mendapatkan surat cinta terus meski dirinya sudah patuh," kata Fajry.
"Makanya banyak pihak yang mengkritik jika DJP masih berburu di kebun binatang. Perlu aturan main agar hal itu tidak terjadi lagi," tandasnya.
Selanjutnya: Prospek Cerah IHSG di 2026, Simak Kata Analis
Menarik Dibaca: Apakah Berat Badan Bisa Turun dengan Jalan Kaki atau Tidak? Ini Jawabannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













